Kata masjid berarti tempat sujud, sujud itu sendiri berarti tunduk, mengkuduskan, dan merendahkan diri, yang dalam praktik ibadah dilambangkan dengan menempelkan wajah, hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua ujung kaki ke atas permukaan bumi. Penamaan tempat kejadian pengabdian kepada Allah dengan masjid (tempat sujud), pasti mempunyai misi tertentu yang lebih dari sekedar menempelkan wajah di atas bumi. Tempat itu tidak dinamai marka’ (tempat ruku’), meskipun dalam shalat seseorang juga melakukan ruku’, atau mushalla (tempat shalat) meskipun kenyataannya tempat itu digunakan untuk melakukan shalat lima waktu. Tapi tempat itu dinamakan masjid (tempat sujud). Maka dapat dipahami bahwa masjid dimaksudkan sebagai tempat berbagai aktivitas yang secara keseluruhan mengarah dan dalam rangka pengabdian (ibadah) kepada Allah, dalam arti seluas-luasnya, dengan penuh ketundukan, kepasrahan, kepatuhan dan ketaatan kepada-Nya. Allah berfirman: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. An-Nur:36-38)
Dari konsep masjid seperti itu, maka adalah sebuah kesalahan besar, bila masjid kemudian dimarginalkan dengan hanya difungsikan sebgai tempat ibadah dalam arti sempit, seperti misalnya hanya sebagai tempat shalat dan khutbah saja.
Dalam pengertian umum, seluruh bumi adalah masjid, sebagaimana sabda Rasulullah:“Bumi secara keseluruhan adalah masjid”. (HR. Muslim)
“Bumi dijadikan untuk kami sebagai masjid dan kebersihan”. (HR. Muslim)
Dalam pengertian seperti itu, maka sesungguhnya, secara umum, dimanapun dirinya berada, harus menjadikan dirinya tunduk, sujud, dan patuh kepada Allah. Tidak ada sudut ruang dan waktu yang sepi dari upaya bersujud, menyerahkan dan menundukkan diri kepada Allah. Lebih dari itu, hadits di atas memberikan pengertian bahwa setiap muslim diperintahkan untuk menjadikan setiap tempat sebagai tempat yang suci bersih layaknya masjid agar manusia dapat menjalankan proses ketundukannya kepada Allah itu dengan penuh hidmat dan khusyu’.
Dalam pengertian khusus, masjid yang dimaksudkan adalah bangunan khusus yang di dalamnya dilakukan berbagai kegiatan yang meliputi kegiatan yang berhubungan dengan Allah (habi min Allah) dan yang berhubungan dengan manusia (habi min al-nas) yang secara keseluruhan dilakukan dalam rangka tunduk dan patuh dalam pengabdian kepada Allah. Masjid menjadi titik pusat bagi pengaturan tata ruang lingkungan kehidupan umat Islam, dari titik pusat itu kemudian diikuti dengan unit-unit spasial lain, seperti sarana pendidikan, kesehatan, perbankan, pasar, perkantoran, perumahan dan lain sebagainya. Lingkungan kehidupan yang berpusat pada masjid itu, menurut al-Faruqi dalam The Cultural Atlas of Islam, bersumber pada paradigma tauhid (tauhidic paradigm) tentang kesatuan yang berasal dari yang Esa (Allah). Sebagaimana yang tergambar dalam tauhidic paradigm, maka seluruh kehidupan bersumber dari Yang Esa dan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya tauhidic paradigm, tidak ada perpisahan antara yang sacral dan yang profane, dimana dimensi ruhani dan materi terintegrasi menjadi satu, dan pola kehidupan duniawi setiap muslim adalah pancaran dari cahaya keimanannya.
Pertama kali yang dilakukan Rasulullah setelah hijrah ke Madinah adalah mendirikan sebuah masjid yang terkenal dengan Masjid Nabawi. Masjid itu dijadikan pusat kegiatan hingga para al-Khulafa al-Rasyidin (10-39 H/632-660 M). di dalam masjid itu diorganisir berbagai kegiatan masyarakat secara lengkap, meliputi ibadah, ekonomi, sosial, dan politik. Ia menjadi pusat ibadah, pusat dakwah, pusat pendidikan bahkan pusat pemerintahan. Namun masjid mengalami degradasi fungsi setelah dibangun istana khalifah. Masjid-masjid dibatasi pada fungsi ibadah dan pendidikan, sedang fungsi pemerintahan pindah ke istana.
Pada masa kejayaan Islam fungsi masjid sebagai pusat pendidikan dan dakwah sangat tampak. Di dalam masjid dikaji berbagai disiplin ilmu, terutama ilmu-ilmu keislaman. Bentuk kajian mulai dalam bentuk tadris, muhadzarah, hingga halaqah. Halaqah di masjid adalah lembaga pendidikan tingkat lanjutan setingkat college, dimana seorang guru duduk dikelilingi oleh para murid. Ada dua tipe halaqah menurut stanton, yaitu halaqah di masjid jami dan halaqah masjid non-jami’. Tipe pertama, lembaga tersebut diselenggarakan di masjid jami (yang di dalamnya digunakan shalat jum’at) atas biaya negara dan berada dalam pengawasan pemerintahan setempat. Di dalamnya dikaji ilmu-ilmu agama secara umum pada tingkat tinggi. Tipe kedua, lembaga yang diselenggarakan di masjid kecil yang tidak digunakan untuk shalat jum’at. Masjid-masjid itu biasanya eksklusif, dibangun untuk jama’ah mazhab tertentu. Disiplin ilmu yang diajarkan dalam halaqah tersebut meliputi ilmu-ilmu keislaman (hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih, nahwu, sharf, dan sastra arab). Ilmu-ilmu non-agama sedikit sekali diajarkan. Filsafat Yunani, sains, dan humaniora sedikit sekali kalau tidak dikatakan tidak diminati oleh masyarakat umum. Di masa Abbasiyah abad ke tiga Hijriah, ada lebih dari 3000 masjid yang menyelenggarakan kajian dalam bentuk halaqah. Di Aleksandria abad 14 M ada 12000 masjid. Masjid al-Mansur di Baghdad mempunyai 40 halaqah. Masjid-masjid itu menjadi pusat transmisi ilmu pengetahuan dari masa ke masa.
Dari penjelasan di atas, menunjukkan bahwa masjid mempunyai peran pendidikan dan pencerahan yang sangat efektif, bahkan pada masjid-masjid tertentu muncul lembaga yang disebut al-madrasah (lembaga tingkat dasar dan menengah) dan al-jami’ah (lembaga tingkat tinggi, universitas). Bahkan istilah al-jami’ah dalam bahasa Arab untuk menunjuk kepada lembaga pendidikan tinggi (universitas), berasal dari kata al-jami yang berarti masjid besar yang di dalamnya diselenggarakan shalat jum’at. Al-Jami’ah (universitas) tertua dalam sejarah Islam yang didirikan oleh masjid tentu saja adalah Jami’ah al Azhar al-Syarif di Mesir yang bermula dari halaqah di masjid Jami Al-Azhar, pada masa dinasti al-Fatimiyyah pada tahun 970 M. sebenarnya ada universitas yang lebih tua dari AL-Azhar, yaitu Jami’ah al-Zaytunah (864 M) dan Jami’ah al-Qarawiyyin (857 M). tetapi tentu saja reputasinya tidak sepopuler Al-Azhar di Mesir.
Ada beberapa masjid penting yang tidak melahirkan pendidikan hingga tingkat jami’ah (universitas), namun perannya dalam melakukan transformasi ilmu tidak kalah penting. Masjid-masjid tersebut memang tidak mendirikan kelembagaan universitas, tapi tetap menyelenggarakan pendidikan tinggi dalam kelembagaan yang disebut majlis al-ilm (forum kajian ilmiah). Majlis al-ilm ini, demikian dijelaskan oleh sejarawan al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, biasanya di bawah pimpinan seorang syekh (kyai, ustadz) terkenal yang secara rutin mengadakan pertemuan ilmiah di masjid, terbuka atau terbatas. Para murid dari berbagai penjuru mendatangi majlis al-ilm tersebut, mengkaji berbagai disiplin ilmu, pindah dari majlis al-ilm ke majlis al-ilm yang lain, dari satu syekh kepada syeikh yang lain.
Sebagai contoh yang paling menonjol adalah al-Masjid al-Haram Makkah dan sedikit di bawahnya, al-Masjid al-Nabawi di Madinah, yang terkenal dengan sebutan al-haramain menjadi tumpuan para penuntut ilmu dari penjuru dunia Islam, termasuk dari nusantara yang terkenal dengan al-ashab al-jiwiyyin (murid-murid Jawi, Jawi dimaksudkan bukan saja mereka yang berasal dari pulau Jawa, tetapi untuk menyebut mereka yang berasal dari Nusantara). Para ulama Nusantara alumni al-Haramain yang sangat terkenal dapat disaksikan pengaruhnya hingga sekarang umpamanya: pada abad ke-17 terdapat Syeikh Abd al-Rouf al Sinkili (1024-1105 H/1615-1693), Nur al-Din al-Raniri (w. 1068 H / 1658 M) dari Aceh, Muhammad Yusuf al-Maqassari (1037-1111/1627-1699 M) dari Makassar. Pada abad 18 dan 19 ada Syeikh Abd al-Shamad al-Palimbani (1710-1783 M) dari Palembang, Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) dari Kalimantan Selatan, Syeikh Daud bin Abdullah al Fatani (1769-1847) dari Patani. Sekedar menyebut nama, para pembaharu Islam dalam gerakan Paderi (H. Miskin dari Pandai Sikat, H. Sumanik dari Delapan Kota, dan H. Piobang dari Tanah Datar), tokoh pendiri Persyarikatan Muhammadiyah (KH. Ahmad Dahlan) dan pendiri Jum’iah Nahdlatul Ulama’ (KH. Hasyim Asy’ari) adalah jebolan majlis al-ilm di al-Haramain itu. (Shobahussurur, 2008).
Masjid-masjid di Indonesia dapat dibedakan menjadi masjid negara (untuk menunjuk kepada masjid Istiqlal), masjid raya (biasanya pada tingkat propinsi), masjid agung (biasanya pada tingkat kabupaten), masjid istana, masjid pesantren, masjid kampus, dan masjid umum di tingkat kecamatan dan pedesaan (masjid besar dan masjid Jami'). Pada masa penjajahan, awal kemerdekaan hingga tahun 60-an, masjid-masjid itu pada umumnya digunakan hanya untuk aktifitas ibadah murni, jarang digunakan sebagai fungsi dakwah yang lebih luas, bahkan kalaulah diadakan taklim dan ceramah, mayoritas fokus pembicaraan diseputar kajian fiqih.
A. Fungsi Masjid
Dilihat dari segi fungsi, masjid adalah tempat yang menghimpun, meliputi penguasa dan rakyat, pengusaha dan karyawan, cendikiawan dan mahasiswa, anak-anak, remaja dan orang tua, orang kaya dan miskin. Masjid menjadi titik sentral seluruh kegiatan umat. Oleh karena itu masjid berfungsi sebagai pemberi cahaya terang bagi kehidupan mereka, dengan pengertian bahwa selain menjadi fungsi utama sebagai sarana ibadah ritual, juga berfungsi sebagai sarana silaturahmi dan pengembangan masyarakat.
Merujuk pada fungsi masjid Nabawi di zaman Rasulullah SAW. dapat diketahui bahwa masjid tersebut memiliki peran dan fungsi yang sangat luas. Saat itu masjid berfungsi sebagai, antara lain: 1) tempat ibadah ritual, 2) tempat konsultasi, komunikasi, dan musyawarah, 3) tempat pendidikan, pemberdayaan dan pencerahan, 4) tempat santunan sosial, 5) tempat pengobatan, 6) menjadi aula tempat menerima tamu, 7) tempat menghimpun dan mengelola dana umat (Bait al-Mal), 8) tempat perdamaian dan penyelesaian sengketa, 9) tempat mengatur strategi dan latihan perang, 10) tempat tahanan perang, 11) tempat singgah para musafir dan kaum dhuafa’, serta 12) menjadi pusat informasi dan pembelaan Islam.
Oleh karena itu, banyak hal yang dapat digarap agar masjid dapat berfungsi secara optimal. Para pengelolanya dituntut untuk menjadikan masjid hidup, berbicara, dan menjadi obor penerang bagi umat. Maka diperlukan para pengelola yang tidak saja khusyu’, tunduk dan patuh tapi juga ‘alim (intelek), al-fathanah (kreatif dan cerdas), al-iltizam (berani dan tegas), serta al-himah (bijaksana)
B. Pokok-pokok kegiatan masjid. (Misi)
Masjid Nurul Islam Islamic Centre Bekasi mempunyai misi, yaitu:
1. Misi al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (memerintah kepada yang baik dan mencegah dari kemungkaran), yaitu menjadi lembaga amar ma’ruf nahi mungkar berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah, dengan prinsip bi al-hikmah (bijaksana), al-mauidzah al-hasanah (nasehat baik), dan al-jadal bi al-ahsan (dialog dan debat argumentatif)
2. Misi al-tathwir wa al-tatsqif (pencerahan dan pemberdayaan), yaitu menjadi lembaga yang memberi pencerahan dan pemberdayaan umat melalui berbagai program pendidikan, pelatihan dan kajian ilmiah.
3. Misi al-khidmah wa al-amn (pelayanan dan keamanan), yaitu menjadi lembaga yang memberikan pelayanan terbaik bagi umat atas berbagai problema kehidupan yang mereka hadapi sehingga mereka mendapatkan keamanan, kenyamanan, kemudahan dan ketentraman.
4. Misi ri’ayah (pemeliharaan), yaitu menjadi benteng umat Islam yang dapat memelihara dan menjaga mereka dari berbagai arus pemikiran, keyakinan, budaya dan gaya hidup yang bertentangan dengan ajaran dan nilai Islam, melalui pendekatan rahmatan li al-‘alamin (memberikan kasih sayang bagi seluruh alam).
C. Memakmurkan Masjid (Imarah Al-Masjid)
Kemakmuran masjid sangat ditentukan oleh kegiatan yang dilakukan. Bukan sekedar banyaknya kegiatan yang ada tapi juga kualitas kegiatan. Oleh karena itu setiap kegiatan yang dilakukan di Masjid Nurul Islam Islamic Centre Bekasi didasari oleh jiwa keikhlasan, jiwa kerja sama (teamworking, networking), dan jiwa kemandirian (enterpreneurship). Jiwa keikhalasan dimaksudkan sebagai dasar etos kerja Islami, dimana harapan tertinggi dari setiap kegiatan hanyalah ridha Allah semata. Bekerja keras dengan hasil maksimal, bukan asal kerja dan mendapat upah, tapi berbuat untuk membela dan menegakkan kalimat Allah. Disebutkan dalam al-Qur’an: Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah:105).
Jiwa kerja sama dimaksudkan bahwa setiap kegiatan dilakukan oleh team guna menghasilkan hasil maksimal. Saling tolong menolong, bantu membantu dalam membangun jaringan lebih luas. Jiwa mandiri dimaksudkan bahwa setiap kegiatan diupayakan mandiri dari segi program, pelaksanaan, dan pendanaan. Saat ini hampir semua kegiatan masih sangat tergantung kepada dana zakat, infaq, dan shadaqah. Namun ke depan, tanpa mengurangi peran dana tersebut, diharapkan dapat mencari sumber-sumber pendanaan lain yang lebih mandiri.